Rabu, 11 Oktober 2017

Bioteknologi Hewan

Bioteknologi Hewan
I.                   Pengertian Bioteknologi Hewan
Bioteknologi hewan adalah penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan rekayasa untuk memodifikasi mahluk hidup untuk membuat produk, memperbaiki hewan, dan mengembangkan mikroorganisme untuk penggunaan tertentu (Miguel, 2010).        Bioteknologi hewan pada awalnya dilakukan secara tradisional dengan cara menyilangkan hewan dan selective breeding. Praktek ini terbukti telah dapat memperbaiki kualitas hewan-hewan untuk keperluan tertentu contohnya yan popular dan persilangan keturunan yang disebut bagal (mule), sedangkan persilangan resiprok atau kebalikannya antara kuda jantan dengan keledai betina akan menghasilkan keturunan yang disbeut hinnie. Baik bagal maupun Hinnie digunakan sebagai hewan pekerja yang cukup tangguh dan bermanfaat. Praktek persilangan  keledai sampai sekarang masih banyak dilakukan seperti  yang dilaporkan oleh Krugel et al. (2008) di banyak negara di Eropa. Contoh lainnya adalah pemuliaan ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan menggunakan teknik selective breeding. Program ini bertujuan untuk meningkatkan konsumsi protein pada masyarakat miskin di negara berkembang. Ikan hasil pemuliaan ini dikenal dengan nama ikan nila GIFT (Genetic Improvement of Formed Tilapia).
Ada beberapa alasan melakukan bioteknologi hewan diantaranya untuk mengisolasi, identifikasi dan karakterisasi gen agan dapat mempelajari fungsinya, untuk membantu menyiapkan model penelitian tentang penyakit, dan mengembangkan obat dan strategi bagi penyembukhan penyakit (misalnya melalui terapi gen), untuk menyiapkan jaringan/organ untuk transplantasi, untuk menghasilkan susu yang mengandung bahan terapi, susu dengan kandungan nutrisi yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan balita dan anak-anak, dan untuk meningkatkan kualitas ternak (Sutomo, 2016).
II.                Kloning dan Transgenik
Kloning dan transgenik seringkali diartikan sama atau dicampur adukkan pengertiannya walaupun sebenarnya keduanya memiliki arti yang berbeda.  Kloning adalah proses menghasilkan individu-individu yang secara genetik sama dan individu yang dihasilkan dengan cara kloning disebut sebagai klon. Hewan transgenik dihasilkan dengan cara menyisipkan gen baru dengan bantuan manusia. Hewan transgenik bisa dibuat dengan teknologi cloning. Namun demikian, suatu hewan bisa merupakan suatu klon tapi bukan transgenic atau bisa juga suatu hewan adalah transgenik tapi bukan merupakan suatu klon (Wall et al., 2009).
III.             Contoh-Contoh Hewan Kloning
a.       Transfer Nukleus

Transfer nukleus membutuhkan dua sel yaitu suatu sel donor dan suatu oosit atau sel telur. Telur matur sebelum dibuahi dibuang intinya atau nukleusnya. Proses pembuangan nukleus tadi dinamakan enukleasi. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan informasi genetisnya. Ke dalam telur yang telah dienukleasi tadi kemudian dimasukkan nukleus (donor) dari sel somatik. Penelitian membuktikan bahwa sel telur akan berfungsi terbaik bila ianya dalam anfertilisasi, sebab hal ini akan mempermudah penerimaan nukleus donor seperti dirinya sendiri. Di dalam telur, inti sel donor tadi akan bertindak sebagai inti sel zigot dan membelah serta berkembang menjadi blastosit. Blastosit selanjutnya ditransfer ke dalam uterus induk pengganti (surrogate mother). Jika seluruh proses tadi berjalan baik, suatu replika yang sempurna dari donor akan lahir. Jadi sebenarnya setelah terbentuk blastosit in vitro, proses selanjutnya sama dengan proses bayi tabung yang tehnologinya telah dikuasai oleh para ahli Obstetri Ginekologi (Thomas, 2001)
b.      Kloning Domba Dolly

Kloning domba Dolly merupakan peristiwa penting dalam sejarah kloning. Tidak saja hal tersebut membangkitkan antusias terhadap kloning, melainkan juga hal tersebut membuktikan bahwa kloning binatang dewasa dapat disempurnakan. Sebelumnya, tidak diketahui bahwa suatu nukleus dewasa ternyata mampu memproduksi suatu hewan yang komplit. Bila terjadi kerusakan genetis dan deaktivasi gen yang sederhana maka kedua keadaan tersebut kemungkinan bersifat menetap. Hal tersebut di atas bukanlah suatu kasus yang menyusul setelah penemuan oleh Ian Wilmut dan Keith Cambell tentang suatu metode yang mana mampu melakukan singkronisasi siklus sel dari kedua sel donor dan sel telur. Tanpa singkronosasi siklus sel, maka inti tidak akan berada pada suatu keadaan yang optimum untuk dapat diterima oleh embrio. Bagaimanapun juga sel donor harus berjuang untuk dapat masuk ke Gap Zero, atau stadium sel GO, atau stadium sel dorman (Thomas, 2001).
Pertama, suatu sel (sel donor) diseleksi dari sel kelenjar mammae domba betina berbulu putih (Finn Dorset) untuk menyediakan informasi genetis bagi pengklonan. Untuk studi ini, peneliti membiarkan sel membelah dan membentuk jaringan in vitro atau diluar tubuh hewan. Hal ini akan menghasilkan duplikat yang banyak dari suatu inti yang sama. Tahap ini hanya akan bermanfaat bila DNA nya diubah, seperti pada kasus Dolly, karena perubahan tersebut dapat diteliti untuk memastikan bahwa mereka telah dipengaruhi (Thomas, 2001).
Suatu sel donor diambil dari jaringan dan dimasukkan ke dalan campuran, yang hanya memiliki nutrisi yang cukup untuk mempertahankan kehidupan sel. Hal ini menyebabkan sel untuk menghentikan seluruh gen yang aktif dan memasuki stadium GO. Kemudian sel telur dari domba betina Blackface (domba betina yang mukanya berbulu hitam = Scottish Blackface) dienokulasi dan diletakkan disebelah sel donor.
Satu sampai delapan jam setelah pengambilan sel telur, kejutan listrik digunakan untuk menggabungkan dua sel tadi, pada saat yang sama pertumbuhan dari suatu embrio mulai diaktifkan. Teknik ini tidaklah sepenuhnya sama seperti aktivasi yang dilakukan oleh sperma, karena hanya beberapa sel yang diaktifkan oleh kejutan listrik yang mampu bertahan cukup lama untuk menghasilkan suatu embrio.
Jika embrio ini dapat bertahan, ia dibiarkan tumbuh selama sekitar enam hari, diinkubasi di dalam oviduk domba. Ternyata sel yang diletakkan di dalam oviduk lebih awal, di dalam pertumbuhannya lebih mampu bertahan dibandingkan dengan yang diinkubasi di dalam laboratorium. Akhirnya embrio tadi ditempatkan ke dalam uterus betina penerima (surrogate mother). Induk betina tersebut selanjutnya akan mengandung hasil cloning tadi hingga ianya siap untuk dilahirkan. Bila tidak terjadi kekeliruan, suatu duplikat yang persis sama dari donor akan lahir.
Domba yang baru lahir tersebut memiliki semua karakteristik yang sama dengan domba yang lahir secara alamiah. Dan telah diamati bila ada efek yang merugikan, seperti resiko yang tinggi terhadap kanker atau penyakit genetis lainnya yang terjadi atas kerusakan bertahap kepada DNA, dikemudian hari juga terjadi pada Dolly atau hewan lainnya yang dikloning dengan metode ini.                
      c.         Kloning Tikus

Kata kloning, berasal dari bahasa  Inggris clone, pertama kali diusulkan oleh Herbert Webber pada tahun 1903 untuk mengistilahkan sekelompok organisme hewan maupun tumbuh-tumbuhan yang dihasilkan melalui reproduksi aseksual dan berasal dari satu induk yang sama. Setiap anggota dari klon tersebut mempunyai susunan dan jumlah gen yang sama dan kemungkinan besar fenotipnya juga sama. Kloning pada hewan dilakukan mula-mula pada amfibi (kodok), dengan mengadakan transplantasi nukleus ke dalam telur kodok yang dienukleasi. Sebagai donor digunakan nukleus sel somatik dari berbagai stadium perkembangan. Ternyata donor nukleus dari sel somatik yang diambil dari sel epitel usus kecebong pun masih dapat membentuk embrio normal (Thomas, 2001).
Sejak Wilmut berhasil membuat klon anak domba yang donor nukleusnya diambil dari sel kelenjar susu domba dewasa, maka terbukti bahwa pada mammalia pun klon dapat dibuat. Atas dasar itu para ahli berpendapat bahwa pada manusia pun secara teknis klon dapat dibuat.
Pada Juli 1998, suatu tim ilmuwan dari Universitas Hawai mengumumkan bahwa mereka telah menghasilkan tiga generasi tikus kloning yang secara genetik identik. Tehnik ini diakreditasi atas nama Teruhiko Wakayama dan Ryuzo Yanagimachi dari Universitas Hawai. Tikus telah sejak lama diketahui merupakan mamalia yang tersulit untuk dikloning, ini merujuk pada, bahwa segera setelah suatu sel telur tikus mengalami fertilisasi ia akan segera membelah. Domba digunakan karena sel telurnya membutuhkan beberapa jam sebelum membelah, memungkinkan adanya waktu bagi sel telur untuk memprogram ulang nukleus barunya. Meskipun tidak mendapatkan keuntungan tersebut ternyata Wakayama dan Yanagimachi mampu melakukan kloning dengan angka keberhasilan yang jauh lebih tinggi (3 kloning dari sekitar seratus yang dilakukan) dibandingkan Ian Wilmut (satu dari 277).
Sel telur tikus yang tidak dibuahi digunakan sebagai resipien dari inti donor. Setelah dienokulasi, sel telur memiliki inti donor yang dimasukkan ke dalamnya. Nukleus donor diambil dari sel-sel dalam hitungan menit dari setiap ekstrak sel dari tikus tersebut. Tidak seperti pada proses yang digunakan untuk melahirkan Dolly, tanpa in vitro atau di luar dari tubuh hewan, kultur dilakukan justru pada sel-sel tersebut. Setelah satu jam sel-sel telah menerima nukleus-nukleus yang baru. Setelah penambahan waktu selama 5 jam sel telur kemudian ditempatkan pada suatu kultur kimia untuk memberi kesempatan sel-sel tersebut tumbuh, sebagaimana layaknya fertilisasi secara alamiah.

IV.             Contoh Hewan Transgenik
a.       Glow fish – Ikan Bercahaya
Glow fish merupakan salah satu contoh hewan transgenik yang direkayasa secara genetiknya. Ikan ini dikembagkan dari Amerika Serikat yang merekayasa DNA dari ikan zebra (Danio rerio) dengan gen pengkode protein flourens warna hijau dari gfp (green flourescent protein). Namun secara fenotip, warna yang dihasilkan bukan hanya warna hijau saja melainkan warna kuning hingga merah. (Hossein, 2009).
b.      Sapi Transgenik Penghasil Protein Susu
Rekombinan Teknologi transgenik ini telah sukses dilakukan untuk kepentingan di bidang agrikultur dalam meningkatkan mutu kualitas pangan. Pada hewan uji yang berupa lembu jarang sekali dilakukan percobaan transgenik hal ini dikarenakan banyak kendala seperti masa regenerasinya butuh waktu sekitar 2 tahun. Namun para peneliti akhirnya bisa menyisipi gen penghasil α-lactalbumin yang berasal dari manusia. Dari hasil uji produksi susu sebesar 91 ml, ditemukan sekresi α–lactalbumin dengan konsentrasi 2,4 mg ml-1.  Metode yang digunakan adalah melakukan fertilisasi secara in vitro yang selanjutnya akan dihasilkan zigot. Tahap berikutnya zigot akan diinjeksi dengan DNA yang mengandung gen α–lactalbumin. Proses injeksi dengan menggunkan teknik microinjection. Selanjutnya zigot dikultur selama 6 atau 7 hari dengan menggunakan media sintetik yang menyerupai cairan oviduk. Setelah itu akan tumbuh menjadi embrio dan ditransfer ke rahim lembu untuk proses kehamilan (Hossein, 2009).
c.       Kucing Yang Bersinar Dalam Gelap
Pada tahun 2007, ilmuwan Korea Selatan mengubah DNA seekor kucing untuk membuat kucing tersebut bersinar di dalam gelap dan kemudian mereka mengambil DNA tersebut dan menggunakannya untuk meng-clone kucing-kucing lain—menciptakan sekelompok kucing yang berbulu halus, yang bersinar dalam gelap. Beginilah cara mereka melakukannya: Para peneliti mengambil sel-sel kulit dari beberapa ekor kucing Angora Turki berjenis kelamin betina dan menggunakan sebuah virus untuk memasukkan instruksi-instruksi genetik untuk menciptakan protein yang bisa menimbulkan cahaya yang berwarna merah. Kemudian mereka meletakkan nuclei yang gen-nya sudah diubah tersebut ke dalam sel telur untuk melakukan cloning, dan embrio-embrio yang sudah di-clone tersebut diimplantasikan kembali pada kucing-kucing donor tersebut—sehingga membuat kucing-kucing tersebut menjadi ibu pengganti bagi clones mereka sendiri (Hossein, 2009).
d.      Enviropig
Enviropig or “Frankenswine,” sebagaimana kritikus menyebutnya, adalah seekor babi yang telah diubah secara genetik untuk mencerna dan memproses fosfor dengan lebih baik. Kotoran babi kaya akan phytate, salah satu bentuk fosfor, sehingga ketika para petani menggunakan kotoran babi tersebut sebagai pupuk, maka zat kimia tersebut akan hanyut bersama air dan menyebabkan ganggang berkembang biak hingga bisa menghabiskan oksigen di dalam air dan bisa membunuh kehidupan laut. Jadi para ilmuwan menambahkan bakteri E. Coli dan DNA tikus pada embrio seekor babi. Modifikasi ini bisa mengurangi keluaran fosfor dari seekor babi hingga sebanyak 70 persen—sehingga membuat babi  tersebut menjadi lebih ramah lingkungan (Hossein, 2009).
e.       Ikan Salmon yang Cepat Besar e
Ikan salmon milik AquaBounty yang dimodifikasi secara genetik tumbuh dua kali lipat lebih cepat dibandingkan ikan salmon varietas konvensional. Perusahaan tersebut mengatakan ikan tersebut mempunyai rasa, warna, dan bau yang sama, dengan ikan salmon biasa; akan tetapi, perdebatan masih berlanjut tentang apakah ikan tersebut aman dimakan. Ikan salmon Atlantik yang direkayasa secara genetik mempunyai hormon pertumbuhan tambahan yang berasal dari ikan salmon Chinook sehingga memungkinkan ikan tersebut memproduksi hormon pertumbuhan sepanjang tahun.
Para ilmuwan mampu membuat hormon tersebut tetap aktif dengan cara menggunakan sebuah gen yang berasal dari seekor ikan yang menyerupai belut yang dinamakan ocean pout, yang berfungsi sebagai sebuah “saklar” bagi hormon tersebut. Jika FDA menyetujui penjualan ikan salmon tersebut, maka ini akan menjadi kali pertamanya pemerintah mengijinkan hewan yang dimodifikasi dipasarkan untuk konsumsi manusia. Menurut pedoman pemerintah federal, ikan tersebut tidak akan diberi label sebagai ikan yang dimodifikasi secara genetic (Hossein, 2009).
f.       Kambing Pembuat Jaring Laba-Laba
Serat laba-laba yang kuat dan fleksibel adalah salah satu material yang paling berharga di alam, dan bisa digunakan untuk menciptakan serangkaian produk mulai dari ligamen buatan hingga tali parasut (parachute cords) jika saja kita bisa memproduksinya dalam skala komersial. Pada tahun 2000, Nexia Biotechnologies mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan jawabannya: seekor kambing yang bisa memproduksi jaring laba-laba dalam susunya.Para peneliti memasukkan gen sutera pembuat jaring dari seekor laba-laba ke dalam DNA kambing tersebut dengan cara sedemikian rupa sehingga kambing tersebut akan memproduksi protein sutera tersebut hanya di dalam susu mereka. “Susu sutera” ini kemudian bisa digunakan untuk membuat material seperti jaring yang disebut Biosteel (Hossein, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
Hossein Azadi. 2009. Genetically Modified and Organic Crops in Developing Countries : A         review of Options for Food Security. Sl : Elsevier Inc.
Miguel, A., Sosa, G., Gasperi, R.D., Elder, G.A. 2010. Animal transgenesis: an overview. Brain   Struct. Funct. 214: 91-109.
Schoenbaum, J Thomas. 2001. International Trade in Living Modified Organism, Edited by          Francioni, Francesco, “Environment Human Rights and International Trade”. Oxford:            Portland.  Hlm. 27.
Sutarno. 2016. Rekayasa genetik dan perkembangan bioteknologi di bidang perternakan.  Seminar nasional XIII pendidikan biologi FKIP UNS 2016. 13 (2) : 23-27
Wall, R., Laible, G., Maga, E., Seidel, Jr., G. and Whitelaw, B. 2009. Animal Productivity and
Genetic Diversity: Cloned and Transgenic Animals. CAST Issue Paper 43 part 8 Animal         Agriculture’s Future through Biotechnology.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN PEMBUATAN DAN PENGENCERAN LARUTAN

V. Data & Hasil Pengamatan ·          100 ml larutan NaCl 0.58 gr Pada proses pembuatan larutan NaOH , dengan men a mba h kan a...